Cari Blog Ini

Rabu, 30 Oktober 2024

Landasan Konseptual Audit Forensik dan Fraud

Audit Forensik dan Fraud

 

Penulis : Aryanto Nur 

ANC - 31/10/2024, 07:00 WIB

Audit forensik

Audit forensik adalah suatu metodologi dan pendekatan khusus dalam menelisik kecurangan (fraud), atau audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam proses litigasi. Hal tersebut bisa diartikan audit forensik bisa digunakan di pengadilan atau proses hukum. Seorang akuntan forensik menerapkan keahlian investigasinya dalam menelisik kecurangan (fraud). Audit forensik tidak berkepentingan untuk mencapai opini umum tentang laporan keuangan secara keseluruhan. Audit forensik lebih spesifik dan ditentukan oleh ruang lingkup jasa yang dikomunikasikan dalam surat lembaga. Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan. Audit forensik dimulai dari adanya indikasi kuat telah terjadi fraud dalam suatu entitas. Indikasi tersebut berasal dari: a. Pengaduan dari dalam atau luar entitas, b. Audit sebelumnya, c. Permintaan pihak-pihak berwenang tertentu, d. Issu dan berita dimedia massa, e. Sumber-sumber lainnya. 

Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam audit forensik adalah 3 (tiga) hal dalam pengumpulan bukti untuk menintak lanjutinya, yaitu: a. Relevan: Bukti audit dikatakan relevan, apabila bukti tersebut secara logis mempunyai hubungan dengan masalah, mendukung atau menguatkan pendapat atau argumen yang berhubungan dengan tujuan dan simpulan audit. b. Kompeten: Bukti audit dikatakan kompeten, apabila bukti tersebut sah dan dapat diandalkan untuk menjamin kesesuaiannya dengan fakta. Bukti yang sah adalah bukti yang memenuhi persyaratan hukum dan undang-undang. Bukti yang dapat diandalkan berkaitan dengan sumber dan cara memperoleh bukti audit itu sendiri. c. Cukup: Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu simpulan audit.

Selanjutnya barulah dilakukan analisis terhadap informasi awal tersebut dengan menjawab pertanyaa 5W + 1H: 1.Penyimpangan apa yang terjadi dan dampaknya (What/Apa), 2.Dimana tempat terjadinya penyimpangan (Where/Dimana), 3.Kapan waktu terjadinya penyimpangan (When/ Kapan), 4.Mengapa penyebab terjadinya penyimpangan (Why/Mengapa), 5.Siapa Pihak-pihak yang bertanggung jawab/terkait (Who/Siapa), 6. Bagaimana modus penyimpangan (How/ Bagaimana). Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis fraud (kecurangan). Audit forensik mengungkap sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan hukum khususnya kejadian tindakan kriminal yang dilakukan seseorang. Forensik (berasal dari bahasa Yunani yang berarti “debat” atau “perdebatan”) artinya forensik adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan hukum untuk mencari keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains. Audit forensik juga bisa dikatakan ilmu aplikatif yang digunakan untuk kepentingan penyelidikan kriminal dalam rangka untuk mencari bukti yang dapat digunakan   dalam   proses penyelesaian suatu kasus kriminal. Seorang auditor forensik harus bisa menguasai ilmu tentang akuntansi, hukum, audit investigatif, kriminologi, dan psikologi untuk menelaah fraud yang terjadi, mencari bukti-bukti, dan menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Standar Practices For  Investigative and Forensic  Accounting  (IFA)  Kanada dan Forensic Accounting pada praktik-praktik yang telah dilakukan di Indonesia membagi atas  tiga  manfaat  dari  aktivitas  yang  dilakukan  oleh  seorang  auditor forensik, yakni:

1)        Dukungan kepada manajemen, sebagai aspek penunjang utama dalam menjalankan sistem manajemen terpadu yang efektif dan efisien.

2)        Dukungan dalam proses hukum, sebagai penyedia data serta informasi faktual yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

3)        Keterangan ahli, sebagai penyedia informasi yang menjelaskan tentang kondisi tertentu sepanjang pemeriksaan berlangsung.

 

Langkah yang dilakukan oleh seorang auditor forensik bertujuan untuk melakukan pengungkapan terhadap setiap tindakan-tindakan tertentu yang berpotens merugikan manajemen yang diperiksanya. Pemeriksaan forensik tersusun secara sistematis yang bertujuan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi  secara  khusus, tindak  pidana  keuangan,  dan  kejahatan  yang lazimnya  disebut  dengan  white  collar  crime. Untuk memulai suatu investigasi auditor forensik harus melakukan pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan awal guna mendapatkan bahan bukti yang relevan dan memadai. Audit forensik bertujuan untuk mengumpulkan bukti yang berorientasi membantu pihak aparat penegak hukum melalui cara dan upaya yang mendekatkan bukti akuntansi menjadi bukti yang bisa untuk dipergunakan di pengadilan. Upaya penelusuran terhadap kecurangan pada sebuah instansi atau perusahaan merupakan tujuan utama dari audit forensik. Dalam pelaksanaannya auditor forensik harus memeriksa pembukuan secara keseluruhan dan saksi yang berkaitan. Fokus utama tersebut untuk mendapatkan hasil terhadap kasus yang dihadapi seperti: a. Pembuktian suatu kerugian; b. Pembuktian terhadap orang perorangan yang terlibat dan bertanggung jawab atas kerugian; c. Menelusuri motif dan cara yang digunakan pelaku; d. Pembuktian yang meneruskan untuk ditolerir atau yang tidak wajar guna mengungkap unsur kesengajaan; dan e. Mengidentifikasi   kerugian atau bentuk kejahatan lain yang bisa diungkap. Oleh karena itu, audit forensik lebih berfokus dan mengarah kepada kasus pembuktian penyimpangan keuangan yang dilakukan secara melawan hukum dan pada kasus-kasus korupsi. Temuan dalam hasil pemeriksaan tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti bagi penyidik, jaksa atau pengacara dalam menyimpulkan suatu kasus hukum pidana atau perdata.

Seorang auditor forensik dituntut harus mampu untuk keluar dari berbagai informasi dan tidak terpaut pada angka-angka yang tampak, khususnya kemampuan untuk menelusuri situasi bisnis  yang saat  ini berkembang dengan tujuan agar keakuratan informasi yang diungkapkan bisa lebih maksimal hingga proses pengungkapan penyimpangan. Profesi audit forensik di Indonesia telah lama dikenal secara praktik pemeriksaan internal atau pemeriksaan laporan-laporan keuangan. Sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.46/Men/II/2009 pada tanggal 27 Februari 2009  tentang Standar Kompetensi  Kerja  Nasional  Indonesia  (SKKNI)  Bidang  Audit  Forensik secara  sah  menyatakan kualifikasi  kompetensi  audit  forensik  sebagai profesi.

 

Konsep Fraud

Menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2016), Kecurangan (fraud) adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Albrecht & Zimbelman (2019) mendefinisikan Kecurangan (fraud)   sebagai segala cara yang dirancang oleh kecerdikan manusia untuk merugikan orang lain dengan penyajian yang tidak sesuai.

Dari pengertian kecurangan (fraud) di atas, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan tentang fraud. Fraud adalah perbuatan secara disengaja yang dilakukan sendiri, dengan melibatkan orang lain, kelompok yang bisa diajak berkompromi, baik dengan mengunakan teknologi maupun tidak, dengan mengambil kesempatan atau penyalahgunaan dari tugas, jabatan, dan kedudukan yang dipunyai untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan kelompok tertentu dengan cara mengelabui, menghilangkan, berbuat curang, tidak melaporkan atau membuat salah saji laporan keuangan, dan atau cara-cara yang lain yang bisa disamakan dengan hal tersebut. Kecurangan dapat terjadi karena sifat ketidak jujuran dan integritas yang lemah serta sifat egois yang dimiliki seseorang sehingga mendorong untuk melakukan kecurangan.

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa definisi fraud mengandung aspek berupa penipuan (deception), ketidakjujuran (dishonest) dan niat (intent).

 

Permufakatan Fraud

Permufakatan fraud sangatlah menarik untuk dikaji, sebab dalam praktiknya permufakatan jahat melibatkan orang-orang yang sangat berpengaruh, proses pembuktiannya juga tidak mudah dan sering terdapat pro kontra berkaitan dengan pembuktian unsur kesepakatan dalam tindak pidana, perdata, dan administratif. Permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi diatur dalam pasal 15 undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak hanya menjerat pelaku akan tetapi juga orang yang berniat melakukannya melalui delik pemufakatan jahat (samenspanning). Pasal tersebut mengatur adanya ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sanksinya pun cukup berat terutama apabila dilakukan oleh pejabat negara. Pemufakatan jahat dalam Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menyatakan bahwa “Dikatakan ada pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Permufakatan jahat menurut Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjadi apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Permufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan, meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan. Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan delik.

 

Pencegahan Kecurangan (Fraud)

Pencegahan dan penanggulangan korupsi harus adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan aspek penyebab kecurangan atau fraud tersebut.  Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif menurut Tim Pengkajian Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional-SPKN, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan-BPKP (2002)  harus dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.

 

1.   Strategi Preventif

Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang untuk melakukan korupsi. Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:

a.         Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;

b.        Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya

c.         Membangun kode etik di sektor publik;

d.        Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.

e.         Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.

f.          Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri;

g.        Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;

h.        Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;

i.          Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN)

j.          Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat;

k.        Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;

                

2.   Strategi Detektif

Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera ditindaklanjuti. Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan:

a.         Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;

b.        Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;

c.         Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;

d.        Partisipasi Indonesia pada  gerakan anti korupsi  dan anti pencucian  uang  di masyarakat internasional;

e.         Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional;

f.          Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

 

3.   Strategi Represif

Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, dengan biaya murah, sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan:

a.         Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi;

b.        Penyidikan,  penuntutan, peradilan,  dan penghukuman koruptor  besar (Catch some big fishes);

c.         Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang  diprioritaskan untuk diberantas;

d.        Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik;

e.         Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus;

f.          Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana  korupsi secara terpadu;

g.        Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;

h.        Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

 

Teori Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance Theory)

Teori-teori tata kelola menyediakan alat analisis untuk merefleksikan dan berpartisipasi dalam produksi aturan yang teratur dalam masyarakat yang semakin kompleks, terfragmentasi, dan dinamis. Teori tata kelola juga merupakan upaya interdisipliner khusus — dengan akar dalam ilmu politik, administrasi publik, sosiologi, ekonomi dan hukum dan dengan cabang yang meluas ke banyak bidang terapan.

Teori tata kelola adalah konstruksi analitis yang dikembangkan melalui pengamatan empiris, penalaran deduktif dan banyak imajinasi dan kreativitas. (Ansell & Jacob, 2022). Dengan demikian, teori tata kelola bersifat abstrak, meskipun bergantung pada konteks, cara penalaran yang bertujuan untuk mendefinisikan, memahami, dan menjelaskan bagaimana masyarakat kontemporer diatur. Teori-teori pemerintahan sering kali secara implisit atau eksplisit mengandung serangkaian komponen berikut: asumsi-asumsi yang dibenarkan secara teoritis tentang sifat dunia; anggapan yang dapat diverifikasi secara empiris yang membantu menentukan ruang lingkup dan validitas teori; konsep dan kategori yang bertujuan untuk menangkap berbagai aspek objek analisis; prinsip dan argumen teoretis yang memungkinkan  kita untuk memahami dan menjelaskan tren, peristiwa, dan kejadian bersama; penilaian normatif berdasarkan standar tertentu; dan generalisasi dan prediksi empiris berdasarkan metode induktif dan deduktif.

Tata kelola akan memberikan penjelasan yang lebih realistis tentang bentuk sebenarnya dari masyarakat yang mengatur dan ekonomi dengan mempertimbangkan pola interaksi jaringan yang kompleks yang terputus dengan linearitas rantai pemerintahan.

Ada sepuluh hal tentang tata kelola yang haru kita pahami, yaitu:

1.        Model tata kelola yang baru meningkatkan kecemasan tentang erosi publik dan hilangnya akuntabilitas tetapi juga meningkatkan harapan untuk model partisipasi demokratis yang baru dan lebih baik serta peningkatan kapasitas untuk pemecahan masalah publik dan inovasi.

2.        Munculnya pemerintahan tidak membuat negara menjadi usang; pemerintahan dapat menggantikan, menambah, memperluas atau mengubah negara.

3.        Namun, tata kelola memang menciptakan mode tata kelola yang lebih terdesentralisasi dan pluri-sentris, sering kali diatur melalui jaringan.

4.        "Pengorganisasian mandiri" dan "pengaturan mandiri" adalah ciri-ciri tata kelola yang sering dicatat, dan teori tata kelola membuat kita peka terhadap berbagai jenis dan batasan politiknya.

5.        Teori tata kelola menumbuhkan apresiasi terhadap aspek diskursif, konstruktivis, dan agenial dari tata kelola.

6.        Tata kelola dapat dipahami sebagai variabel independen dan dependen—yaitu, sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan hasil tata kelola dan sebagai proses yang harus dijelaskan.

7.        Konsep tata kelola sering dikaitkan dengan upaya praktis untuk memecahkan masalah yang kompleks, dan perangkat tata kelola berisi berbagai macam mekanisme sosial, kelembagaan dan politik.

8.        Teori tata kelola cenderung berorientasi pada proses dan peka konteks.

9.        Tata kelola sangat menantang ketika harus beroperasi lintas level, skala spasial, dan yurisdiksi.

10.    Proses tata kelola sering dibebani dengan ekspektasi normatif yang saling bertentangan yang mungkin sulit diwujudkan dalam praktiknya.

 

Tata Kelola Adaptif

Praktik dari tata kelola adaptif untuk pengelolaan sumber daya berkelanjutan demi kepentingan bersama. Tata kelola adaptif merupakan akselerasi dari tiga cabang ilmu utama, yaitu ilmu sosio-ekologis, ilmu kelembagaan, dan ilmu kebijakan. Tata kelola adaptif juga sering digabungkan dengan manajemen adaptif. Manajemen adaptif muncul dari kebutuhan untuk membuat proyek atau program yang spesifik, literatif sedang belajar sistem ke mengelola ekologis sumber daya. Pengelolaan adaptif awalnya diidentifikasi sebagai cara untuk menghadapi ketidakpastian yang terkait dengan ilmu ekologi dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Dari tiga cabang ilmu utama tentang tata kelola adaptif tersebut mengandung ada kesamaan dan perbedaan. Dalam hal persamaan, semua cabang mengidentifikasi tantangan dengan struktur tata kelola yang ada, baik itu dari kegagalan pasar atau terpusat struktur untuk mengatasi lingkungan secara memadai dan alami masalah sumber daya atau dari sumber yang mendasari asumsi terkait dengan pengelolaan dan kelembagaan praktik. Dalam hal perbedaan, cabang sosio-ekologis menekankan sistem sosial-ekologis yang terkait yang dinamikanya dapat dipahami melalui model siklus adaptif, cabang sosio-ekologis menekankan sistem sosial-ekologis yang terkait yang dinamikanya dapat dipahami melalui model siklus adaptif, kelembagaan/para institusionalis menekankan teoretis skala interaksi di antara berbeda tingkat dari keputusan membuat, dan cabang ilmu kebijakan mengambil arah yang lebih normatif untuk fokus pada pola praktik terdokumentasi yang melayani kepentingan bersama. Masing-masing dibahas secara singkat di bawah ini.

Tata kelola adaptif adalah cerminan dari sistem pemerintahan yang lebih luas yang memungkinkannya beradaptasi dengan keinginan publik dan peristiwa lain – termasuk dalam penelitian ini. Strategi tata kelola adaptif memanfaatkan kemampuan internal dan eksternal, mendesentralisasikan kekuasaan pengambilan keputusan, dan berusaha menginformasikan keputusan tingkat yang lebih tinggi dari bawah ke atas membantu koordinasi, yang dapat memfasilitasi adaptasi juga.

 

Good Public Management dan Good Public Governance

Good Public Management dan Good Public Governance ini mengambil sebuah reflektif dan agak kritis melihat pada administrasi melalui manajemen ke tata kelola yang terkait dengan reformasi publik dan sistem distribusi. Bidang ini juga menyajikan dan mengatur dari masukan tentang layanan publik yang telah cacat dan perlu penanganan melalui keterlibatan teori layanan.

 

Good Public Management

Good Public Management sebuah teori ekonomis dari perilaku birokratis. (Ansell & Jacob, 2022). Ini merupakan pergeseran dari gagasan administrasi publik dan pelayanan publik terhadap pasar, konsumen yang juga dikenal dengan istilah NPM (New Public Management). New Public Management (NPM) adalah suatu sistem manajemen desentralisasi dengan perangkat manajemen seperti pengawasan (controlling) dan perbandingan (benchmarking) yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintah daerah yang baik (Good Governance) sehingga akan tercipta kesejahteraan masyarakat (Ansell & Jacob, 2022).

Tujuan dari teori NPM yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, dan memperbaiki akuntabilitas kinerja. New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan.

 

Good Public Governance

Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel (Ansell & Jacob, 2022). GPG pada dasarnya mengatur pola hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat, antara penyelenggara negara dan lembaga negara, serta antar lembaga negara. Penerapaan GPG mempunyai pengaruh yang sangat besar. GPG wajib dilaksanakan oleh para penyelenggara negara di setiap lembaga negara, baik di ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga di lembaga-lembaga non struktural.

 

Implementasi Pedoman Umum Governansi Sektor Publik Indonesia (PUG-SPI)

  Implementasi adalah proses untuk memastikan mengenai pelaksanaan dan pencapaian kebijakan tertentu. Sehubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas pemerintah tidak dapat diketahui apabila tidak ada transparansi pemerintah terhadap masyarakatnya. Keterbukaan informasi pada masyarakat (public) di dalam era persaingan global sangatlah penting, dimana tolak ukur dari keberhasilan suatu negara dapat dilihat dengan bagaimana menciptakan tata kelola yang baik di dalam pemerintahannya (good governance).

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governansi dalam Pedoman Umum Governansi Sektor Publik Indonesia (PUG-SPI) (2022) governansi sektor publik merupakan keniscayaan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Disini dapat kita lihat governansi sektor publik pada dasarnya mempunyai definisi yang mengarah kepada satu konsep umum, yaitu sektor publik diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki dengan maksud untuk mencapai tujuan negara yaitu untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Untuk mencapai tujuan tersebut, sektor publik diberi kewenangan oleh konstitusi dan undang-undang untuk mengelola sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya ekonomi, politik, maupun pertahanan keamanan, serta membuat kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Implementasi pedoman governansi sektor publi diharapkan dapat mencapai sejumlah target governansi sektor public.

Governansi yang baik dalam organisasi publik diperlukan untuk membantu meningkatkan efektivitas organisasi, keberlanjutan, akuntabilitas, dan keadilan. Governansi organisasi sektor publik diperlukan untuk mencegah terjadinya peristiwa yang merugikan, dugaan penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, serta mencegah kegagalan organisasi. Kebutuhan terhadap governansi sektor publik semakin penting karena harapan masyarakat terhadap perilaku dan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan publik semakin meningkat.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal tersebut, maka ditetapkan 13 (tiga belas) nilai dasar dalam Pedoman Governansi Sektor Publik Indonesia (PUG-SPI) (Komite Nasional Kebijakan Governansi, 2022), yaitu: kepemimpinan, etika dan kejujuran, supremasi hukum, transparansi, independensi, akuntabilitas, amanah, berorientasi pelayanan, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif.

           

Moralitas Individu                            

Moralitas atau moral berarti cara hidup atau kebiasaan. Menurut Assumpta (2002), pengertian moral adalah aturan aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia (human behavior) sebagai manusia.

            Menurut Rahimah et al. (2018) moralitas individu dapat dinilai dengan beberapa item diantaranya: kesadaran seorang pegawai terhadap tanggung jawab suatu entitas, nilai kejujuran dan etika, menaati setiap aturan yang berlaku di dalam entitas dan sikap individu dalam melakukan tindakan tidak jujur. Individu yang mempunyai tingkat moral yang tinggi akan dapat mencegah terjadinya kecurangan karena individu yang mempunyai moral yang tinggi akan menaati aturan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal, begitupun sebaliknya.  Individu yang memiliki moral yang rendah cenderung membuat keputusan berdasarkan hak yang diinginkan oleh dirinya sendiri dan tidak menaati peraturan dan kewajiban yang diinginkan oleh dirinya.

 

Korupsi

Pengertian Korupsi menurut UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian Negara. Secara gamblang dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi di jelaskan dalam 13 pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, dan dari 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dikelompokkan dalam tujuh kelompok pidana korupsi dan Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yakni sebagai berikut : Tujuh Kelompok Pidana Korupsi:1. Merugikan keuangan Negara, 2. Suap-menyuap, 3. Penggelapan dalam jabatan, 4. Pemerasan, 5. Perbuatan curang, 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan, 7. Gratifikasi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi: merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegan rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor, mark up harga, SPPD fiktif, pengurangan fisik bangunan, pelanggaran prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa, pelanggaran lainnya yang merugikan pemerintah daerah. (KPK RI, 2006)

 

Aparatur Negara

Aparatur Negara adalah alat kelengkapan negara terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari yang meliputi aparatur kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan negara dan pembangunan serta senantiasa mengabdi dan setia kepada kepentingan, nilai- nilai dan cita- cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (Ariani, 2022). Aparatur Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggung jawab untuk merumuskan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya kreatif guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis dan bermartabat.

 

Pelaku Usaha

Pelaku Usaha adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang melakukan Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia, berdasarkan kontrak atau penunjukan lansung untuk pembeliaan Barang dan penyediaan jasa Pemerintah. (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)

 

Barang/Jasa

Produk adalah barang yang dibuat atau jasa yang dihasilkan oleh Pelaku Usaha. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang. (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Jasa adalah tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan pada suatu pihak kepada pihak lain yang dasarnya bersifat itangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan atas kepemilikan sesuatu. (Tjiptono, 2019) Jasa Konsultansi adalah jasa layanan professional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir. (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Jasa Lainnya adalah jasa non-konsultansi atau jasa yang membutuhkan peralatan, metodologi khusus, dan/atau keterampilan dalam suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

 

Keuangan Negara

Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan Negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan). Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara.

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum, berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.

 

Kerugian Keuangan Negara

Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome).  Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara).

Kerugian keuangan Negara disebabkan oleh berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majure). Pengertian Kerugian Keuangan Negara Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan).

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.

Berbagai praktik kejahatan yang terjadi di masyarakat secara umum selain merugikan aspek diri pribadi  warga negara dan secara khusus pada aspek yang merugikan Negara, dalam hal ini tindakan atau praktik yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan Negara yang salah satunya adalah merugikan keuangan Negara. Adanya catatan-catatan penting tentang praktik kecurangan yang dilakukan oleh pejabat Negara baik yang dilakukan atas jabatan yang melekat pada dirinya maupun pada stratifikasi pengelolaan keuangan yang secara tidak langsung merugikan keuangan Negara dengan upaya dengan niat memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun suatu korporasi. Keuangan Negara sendiri merupakan semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara.

Tugas pemeriksaan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Negara dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Selanjutnya pada Pasal 10 ayat (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. (2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan).

BPK dalam pelaksanaan tugasnya dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara tidak menjadi lembaga tunggal yang dapat menetapkan suatu temuan kerugian keuangan Negara. Terdapat pula lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan kerangka acuan Peraturan Pemerintah Nomor  60  Tahun 2008  tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang dengan hal tersebut kemudian diterbitkan Peraturan Presiden Nomor  192  Tahun 2014  tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang secara sah membentuk suatu badan yang disebut Badan Pengawasan  Keuangan  dan  Pembangunan  yang hadir  sebagai salah  satu  Aparatur Pengawas  Intern  Pemerintahan  (APIP)  yang dapat melakukan perhitungan  atas  kerugian  keuangan negara secara mandiri untuk kepentingan pemerintah. Pada tahun 2008, BPKP menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Bantuan Penghitungan Kerugian Negara. Dari uraian di ini jelas bahwa BPKP salah satu instansi yang berwewenang melakukan perhitungan kerugian keuangan Negara bukan menetapkan adanya kerugian keuangan Negara, sedangkan yang menetapkan adanya kerugian keuangan Negara adalah merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya.

Tuanakotta dalam Anwar (2017) mengungkapkan tentang delapan metode penghitungan kerugian negara yaitu:

1.        Kerugian Total (total loss), metode ini melalui penjumlahan seluruh nilai angka yang dianggap sebagai kerugian keuangan Negara;

2.        Kerugian Total dengan Penyesuaian, metode ini dengan menjumlahkan seluruh jumlah yang dianggap sebagai kerugian dengan penyesuaian ke atas;

3.        Kerugian  Bersih  (net loss),  metode ini  dengan cara menjumlahkan seluruh jumlah yang dianggap sebagai kerugian dengan penyesuaian ke bawah;

4.        Harga Wajar, yaitu menggunakan metode perbandingan harga wajar dengan harga realisasi;

5.        Harga  Pokok, metode  ini  menggunakan harga  pembanding  seperti harga pokok  dan harga perkiraan sendiri (owner’s estimate);

6.        Harga Perkiraan Sendiri (HPS), penggunaan metode ini dengan membandingkan HPS   dengan harga pasar, informasi  biaya  satuan, daftar biaya/tarif barang/jasa, biaya kontrak, dan daftar biaya standar;

7.        Penggunaan Jasa Penilai,  metode ini  menggunakan jasa  ahli  untuk menilai kerugian terkait aset; dan

8.        Biaya Kesempatan (opportunity cost), metode ini digunakan untuk memberikan penilaian apakah pengambilan keputusan sudah mempertimbangkan berbagai alternatif, dan memilih alternatif terbaik yang diambil.

 

Secara praktik, pendekatan perhitungan kerugian keuangan Negara menjadi unsur pokok   pembuktian dalam suatu perkara tindak pidana korupsi. Pelaksanaan perhitungan kerugian keuangan Negara yang dilakukan mengacu pada teori yang terus dikembangkan untuk mencapai tingkat akurasi yang mutakhir, sehingga dalam pembuktian yang dilakukan bisa lebih objektif. Unsur kerugian keuangan Negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi. Jika dilihat pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang RI  Nomor  20  Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa orientasi dalam pemaknsaan kerugian keuangan  negara  menjadi  unsur  yang  menjadi  hubungan  kausalitas dengan perbuatan terdakwa pada kasus tindak pidana korupsi. Pemenuhan unsur berkurangnya kekayaan Negara atau bertambahnya kewajiban Negara yang hadir dengan tanpa perimbangan prestasi atau kesesuaian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum.124 Secara argumentum a contrario pada kerugian keuangan Negara dalam penjelasan UU Tindak Pidana Korupsi tersebut mengerucut pada luasan maksud untuk mengantisipasi penyimpangan keuangan Negara.

Rumusan unsur-unsur pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: 1). Pasal 2, dengan unsur sebagai berikut: Setiap orang; Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; Dengan cara melawan hukum; Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 2). Pasal 3, dengan unsur sebagai berikut: Setiap orang; Dengan tujuan  menguntungkan diri  sendiri  atau orang lain  atau suatu korporasi; Menyalahgunakan  wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.Terdapat dua tahap yang menjadi penentuan dan aspek yang harus terpenuhi dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yakni menentukan kerugian Negara dan tahap menghitung jumlah besaran kerugian Negara tersebut. Pada penyidikan tindak pidana korupsi, pemeriksa (auditor) atau akuntan atau auditor forensik merupakan pihak yang bertanggungjawab menghitung kerugian keuangan Negara, berdasarkan hal tersebut maka penyidik bekerja secara koordinatif kepada instansi yang terkait.

 

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Negara dalam menjalankan tata pemerintahan yang ideal dapat dipastikan memerlukan berbagai instrumen utama maupun perangkat yang menjadi pelengkap agar tercapainya suatu tujuan kenegaraan dan tujuan kebangsaan. Salah satunya upaya untuk melengkapi perangkat-perangkat yang dibutuhkan pemerintah yakni melalui bentuk pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah. Target pemerintah dengan melengkapi berbagai instrumen serta perangkat dalam menjalankan pemerintah melalui pembangunan dalam segala bidang, salah satunya pada infrastruktur serta berbagai kegiatan atau program serta proyek lain yang diadakan oleh pemerintah, seperti pembangunan sarana dan prasarana fisik demi kelancaran pelayanan publik ke masyarakat.

Regulasi yang mengatur tentang PBJ yang dapat dilihat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya. Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Peirgadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai, oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima ,hasil pekerjaan. Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan Barang/Jasa bertujuan untuk: a. menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan Penyedia; b. meningkatkan penggunaan produk dalam negeri; c. meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi; d. meningkatkan peran Pelaku Usaha nasional; e. mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian; f. meningkatkan keikutsertaan industry kreatif; g. mewujudkan pemerataan ekonomi dan memberikan perluasan kesempatan berusaha; dan h. meningkatkan Pengadaan Berkelanjutan

Prinsip dalam penyelenggaraan PBJ menerapkan prinsip sebagai berikut: Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. Selain tujuan dan prinsip di atas, diatur pula etika dalam penyelenggaraan pengadaan barang/jasa dengan setiap pihak memenuhi etika sebagai berikut: a. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan PBJ; b. Bekerja   secara   profesional,   mandiri,   dan   menjaga   kerahasiaan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk  mencegah penyimpangan PBJ; c. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat persaingan usaha tidak sehat; d. Menerima   dan  bertanggung  jawab   atas   segala   keputusan  yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait; e. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam PBJ; f. Menghindari  dan mencegah  pemborosan dan kebocoran keuangan Negara; g. Menghindari  dan  mencegah  penyalahgunaan  wewenang  dan/atau kolusi; dan h. Tidak  menerima,  tidak  menawarkan, atau  tidak  menjanjikan  untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat, dan apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui aau patut diduga berkaitan dengan PBJ.

 

 





Penomoran PSAK terbaru ( berlaku Januari 2024 ) dengan penomoran PSAK Lama.

Berikut dibawah ini adalah tabel perbandingan antara penomoran PSAK terbaru ( berlaku Januari 2024 ) dengan penomoran PSAK Lama. Perubahan ...