Dalam
memutuskan tidak dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan,
penyidik yang bersangkutan harus memiliki alasan yang sah menurut hukum,
misalnya polisi menolak laporan karena tindak pidana tersebut merupakan delik
aduan, sedangkan yang mengadukannya bukanlah orang yang berhak menurut hukum.
Setiap
Pejabat Polri dalam Etika Kemasyarakatan, dilarang:
Dalam Etika Kemasyarakatan, setiap Pejabat Polri dilarang melakukan tindakan atau perilaku yang merusak kehormatan, martabat, dan kepercayaan masyarakat. Ini termasuk menyalahgunakan wewenang, berperilaku tidak patut, dan memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar.
Penjelasan Lebih Lanjut:
Etika Kemasyarakatan dalam kode etik Polri menekankan pentingnya menjaga hubungan yang baik antara anggota Polri dengan masyarakat. Ini mencakup beberapa larangan penting, antara lain:
· Menyalahgunakan wewenang:
Pejabat Polri dilarang menggunakan wewenangnya secara tidak bertanggung jawab, termasuk untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, atau untuk menguntungkan pihak lain secara tidak sah.
· Perilaku tidak patut:
Pejabat Polri dilarang berperilaku kasar, tidak sopan, atau melakukan tindakan lain yang dapat merusak citra Polri di mata masyarakat.
· Pelayanan tidak sesuai standar:
Pejabat Polri dilarang memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, termasuk dalam penanganan kasus, penyelesaian masalah, atau pemberian informasi.
· Menghambat penegakan hukum:
Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang menghalangi atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya, termasuk proses penyidikan atau penuntutan.
· Melakukan keberpihakan:
Pejabat Polri dilarang melakukan
keberpihakan dalam menangani perkara, baik karena kepentingan pribadi,
kelompok, atau karena pengaruh dari pihak lain.
Contoh Konkret:
Anggota Polri yang berperilaku kasar atau tidak sopan saat berinteraksi dengan masyarakat.
Anggota Polri yang tidak memberikan pelayanan yang baik atau tidak sesuai dengan prosedur saat menerima laporan dari masyarakat.
Atasan yang menghalangi bawahannya untuk disidik atau dituntut karena kasus pelanggaran hukum.
Anggota Polri yang memihak dalam menangani kasus tertentu, misalnya karena hubungan pribadi dengan salah satu pihak.
Sanksi Pelanggaran:
Pelanggaran Etika Kemasyarakatan dapat dikenai sanksi disiplin hingga sanksi pidana, tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran dan jenis pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang mungkin dikenakan antara lain teguran, pengurangan gaji, penurunan pangkat, pemindahan ke unit kerja lain, atau bahkan pemberhentian dengan tidak hormat.
a. menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau Laporan dan Pengaduan masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya;
f. mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;
Selain itu, setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan dilarang di antaranya melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur meliputi penegakan hukum antara lain seperti:
a. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
c. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
d. mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangkan dan/atau merekayasa barang bukti.
Terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (“KEPP”) yang dilakukan anggota Polri tersebut yakni menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat, dilakukan penegakan KEPP melalui:
Pemeriksaan pendahuluan, yang dilaksanakan oleh akreditor (pejabat Polri pengemban fungsi profesi dan pengamanan Polribidang pertanggungjawaban profesi), dengan cara audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan. Namun tahapan audit investigasi dapat dilewati jika telah ada minimal 2 alat ukti yang cukup berdasarkan hasil gelar perkara.
Referensi:
1. Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4. Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Perdata (KUH Perdata)