Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
Jika
laporan polisi tidak ditindaklanjuti atau ditunda lebih dari 5 bulan, pelapor
dapat mempertanyakan proses penyidikan dengan mengajukan permohonan
praperadilan di Pengadilan Negeri. Pelapor juga bisa meminta SP2HP
(Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) untuk mengetahui
perkembangan kasus. Jika kepolisian tidak menindaklanjuti laporan atau terdapat
ketidakpuasan atas hasil penyidikan, pelapor dapat mengajukan pengaduan kepada
Propam Polri.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
1. Tindak Lanjut Rutin:
Lakukan kunjungan atau komunikasi rutin ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan laporan.
2. SP2HP:
Mintalah SP2HP kepada kepolisian untuk mengetahui perkembangan hasil penyidikan.
3. Permohonan Praperadilan:
Jika laporan tidak ditindaklanjuti atau ditolak, ajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri.
4. Pengaduan ke Propam:
Jika ada dugaan penyidik tidak menjalankan tugasnya dengan benar, ajukan pengaduan ke Propam Polri.
5. Konsultasi Hukum:
Jika
diperlukan, konsultasikan kasus dengan seorang pengacara untuk mendapatkan
panduan hukum yang lebih spesifik.
Penting
untuk diingat:
Masa Laporan:
Laporan
polisi tidak memiliki masa kadaluarsa, namun untuk delik aduan, pelapor
memiliki waktu tiga bulan sejak laporan dibuat untuk mencabutnya.
Pencabutan Laporan:
Pencabutan
laporan yang sah dapat menghentikan proses hukum.
Sanksi terhadap Polisi:
Jika
polisi mengabaikan laporan, penyidik dapat dikenakan sanksi etika dan/atau
administratif, kata Perqara.
Pengajuan Praperadilan:
Praperadilan dapat dilakukan jika pelapor merasa tidak puas dengan proses penyidikan atau penghentian penyidikan oleh kepolisian
Apabila
Anda tidak juga memperoleh informasi terkait proses penyidikan terhadap laporan
polisi yang telah dibuat, maka Anda sebagai pelapor dapat meminta Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (“SP2HP”).
Dasar
hukum terkait perolehan SP2HP antara lain diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf
a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Sistem Informasi Penyidikan (“Perkap 21/2011”), yang menyebutkan bahwa
penyampaian informasi penyidikan yang dilakukan melalui surat, diberikan dalam
bentuk SP2HP kepada pelapor/pengadu atau keluarga.
Bahkan
mengacu pada Pasal 10 ayat (5) Perkap 6/2019, setiap perkembangan penanganan
perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana harus diterbitkan SP2HP.
Pasal
11 ayat (2) Perkap 21/2011 kemudian menyebutkan bahwa dalam SP2HP
sekurang-kurangnya memuat pokok perkara, tindakan yang telah dilaksanakan
penyidik dan hasilnya, dan permasalahan/kendala yang dihadapi dalam penyidikan.
Dalam laman Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) milik Polri, dijelaskan bahwa SP2HP pertama kali diberikan pada saat setelah mengeluarkan surat perintah penyidikan dalam waktu tiga hari laporan polisi dibuat. Lebih lanjut, waktu pemberian SP2HP pada tingkat penyidikan untuk masing-masing kategori kasus adalah:
1. Kasus ringan, SP2HP diberikan pada hari ke-10, hari ke-20, dan hari ke-30
2. Kasus sedang, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, dan hari ke-60.
3. Kasus sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75, dan hari ke 90.
4.
Kasus
sangat sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-20, hari ke-40, hari ke-60, hari
ke-80, hari ke-100, dan hari ke-120.
Pihak
Badan Reserse Kriminal Polri juga memberikan kemudahan dan transparansi bagi
masyarakat melalui laman Layanan SP2HP Online. Melalui situs ini, pihak
pelapor/pengadu dapat mengetahui dan mengakses SP2HP secara online dengan
memasukan data berupa:
Nomor LP;
Nama lengkap pelapor;
Tanggal
lahir pelapor.
Oleh
karena itu untuk mengetahui perkembangan proses penyidikan yang sedang berlangsung,
pihak pelapor dapat mengajukan permohonan untuk dapat diberikan SP2HP kepada
pihak kepolisian terkait atau mengaksesnya secara online.
Apabila
laporan polisi yang telah Anda buat ternyata telah dihentikan penyidikannya dan
Anda merasa keberatan, Anda dapat mengajukan permohonan praperadilan kepada
ketua pengadilan negeri setempat.
Hal
ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 80 KUHAP yang selengkapnya berbunyi:
Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa frasa “pihak
ketiga yang berkepentingan” yang dimaksud termasuk saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi kemasyarakatan (hal. 36).
Sebelum
terdapat penghentian penyidikan yang diinformasikan oleh penyidik kepada Anda
sebagai pelapor melalui SP2HP, maka selama itu Anda tidak dapat mengajukan
permohonan praperadilan. Dengan kata lain, permohonan praperadilan dapat Anda
ajukan ketika proses penyidikan telah benar-benar dihentikan sebagaimana telah
kami jelaskan.
Pengaduan dan pelaporan polisi
adalah dua hal yang berbeda dalam konteks hukum pidana. Pelaporan dapat
dilakukan oleh siapa saja untuk menyampaikan informasi tentang tindak pidana
yang terjadi atau diduga terjadi, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh
pihak yang merasa dirugikan oleh tindak pidana tertentu, dan hanya untuk jenis
tindak pidana tertentu yang disebut "tindak pidana aduan".
Pelaporan:
Pelaporan merupakan pemberitahuan yang disampaikan kepada pihak berwenang (polisi) tentang adanya tindak pidana yang terjadi, sedang terjadi, atau diduga akan terjadi.
Setiap orang dapat melaporkan tindak pidana.
Tujuan pelaporan adalah untuk memberikan informasi sehingga dapat dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Contoh pelaporan: Pelaporan tindak
pidana pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan lain-lain.
Pengaduan:
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan kepada pihak berwenang (polisi) untuk menindak pelaku tindak pidana yang merugikan pihak yang mengajukan aduan.
Pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang dirugikan atau memiliki hak untuk mengajukan aduan.
Pengaduan hanya terbatas pada jenis tindak pidana tertentu yang disebut "tindak pidana aduan".
Contoh tindak pidana aduan: Penganiayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga, perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, dan lain-lain.
Tujuan pengaduan adalah untuk memulai proses peradilan dan menuntut hukuman bagi pelaku tindak pidana.
Pengaduan dapat dicabut dalam waktu
paling lambat 3 bulan setelah pengaduan diajukan.
Contoh:
· Pelaporan:
Jika seseorang melihat seorang pencuri sedang mencuri, orang tersebut dapat melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
· Pengaduan:
Jika seseorang dirugikan oleh penganiayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga, orang tersebut dapat mengajukan aduan ke polisi.
Kesimpulan:
Pelaporan adalah pemberitahuan umum
tentang tindak pidana, sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai
permintaan untuk menindak pelaku tindak pidana tertentu yang merugikan pihak
pengadu.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan;
Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
98/PUU-X/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar