Cari Blog Ini

Senin, 05 Mei 2025

Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kemasyarakatan, dilarang:

 

Dalam memutuskan tidak dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan, penyidik yang bersangkutan harus memiliki alasan yang sah menurut hukum, misalnya polisi menolak laporan karena tindak pidana tersebut merupakan delik aduan, sedangkan yang mengadukannya bukanlah orang yang berhak menurut hukum.

Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kemasyarakatan, dilarang:

Dalam Etika Kemasyarakatan, setiap Pejabat Polri dilarang melakukan tindakan atau perilaku yang merusak kehormatan, martabat, dan kepercayaan masyarakat. Ini termasuk menyalahgunakan wewenang, berperilaku tidak patut, dan memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar. 

Penjelasan Lebih Lanjut:

Etika Kemasyarakatan dalam kode etik Polri menekankan pentingnya menjaga hubungan yang baik antara anggota Polri dengan masyarakat. Ini mencakup beberapa larangan penting, antara lain:

·         Menyalahgunakan wewenang:

Pejabat Polri dilarang menggunakan wewenangnya secara tidak bertanggung jawab, termasuk untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, atau untuk menguntungkan pihak lain secara tidak sah. 

·        Perilaku tidak patut:

Pejabat Polri dilarang berperilaku kasar, tidak sopan, atau melakukan tindakan lain yang dapat merusak citra Polri di mata masyarakat. 

·        Pelayanan tidak sesuai standar:

Pejabat Polri dilarang memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, termasuk dalam penanganan kasus, penyelesaian masalah, atau pemberian informasi. 

·        Menghambat penegakan hukum:

Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang menghalangi atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya, termasuk proses penyidikan atau penuntutan. 

·        Melakukan keberpihakan:

Pejabat Polri dilarang melakukan keberpihakan dalam menangani perkara, baik karena kepentingan pribadi, kelompok, atau karena pengaruh dari pihak lain. 

Contoh Konkret:


Anggota Polri yang menyalahgunakan wewenang untuk membebaskan pelaku kejahatan atau memuluskan jalan bagi pelanggar hukum. 
Anggota Polri yang berperilaku kasar atau tidak sopan saat berinteraksi dengan masyarakat. 
Anggota Polri yang tidak memberikan pelayanan yang baik atau tidak sesuai dengan prosedur saat menerima laporan dari masyarakat. 
Atasan yang menghalangi bawahannya untuk disidik atau dituntut karena kasus pelanggaran hukum. 
Anggota Polri yang memihak dalam menangani kasus tertentu, misalnya karena hubungan pribadi dengan salah satu pihak. 

Sanksi Pelanggaran:

Pelanggaran Etika Kemasyarakatan dapat dikenai sanksi disiplin hingga sanksi pidana, tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran dan jenis pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang mungkin dikenakan antara lain teguran, pengurangan gaji, penurunan pangkat, pemindahan ke unit kerja lain, atau bahkan pemberhentian dengan tidak hormat.

a. menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau Laporan dan Pengaduan masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya;

f. mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;

Selain itu, setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan dilarang di antaranya melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur meliputi penegakan hukum antara lain seperti:

a.  mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.    merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;

c.     menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;

d.     mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangkan dan/atau merekayasa barang bukti.

Terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (“KEPP”) yang dilakukan anggota Polri tersebut yakni menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat, dilakukan penegakan KEPP melalui:

Pemeriksaan pendahuluan, yang dilaksanakan oleh akreditor (pejabat Polri pengemban fungsi profesi dan pengamanan Polribidang pertanggungjawaban profesi), dengan cara audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan. Namun tahapan audit investigasi dapat dilewati jika telah ada minimal 2 alat ukti yang cukup berdasarkan hasil gelar perkara.

Referensi:

1.      Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

2.     Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

3.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

4.      Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Perdata (KUH Perdata)

Pencurian (Pencurian) dan Maling (Maling)

Secara hukum, "pencuri" dan "maling" (dalam konteks KUHP) sering digunakan sebagai sinonim. Keduanya mengacu pada tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin dan dengan maksud untuk dimiliki. Dalam bahasa sehari-hari, "pencuri" mungkin lebih sering digunakan dalam konteks resmi atau hukum, sedangkan "maling" lebih umum dan kasual. 

Pencurian (Pencurian): Tindakan mengambil barang milik orang lain yang seluruhnya atau sebagian, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. 

Maling (Maling): Istilah sehari-hari untuk orang yang melakukan pencurian. 

Perbedaan dalam konteks hukum:

Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP): Pengambilan barang tanpa kekerasan. 

Pencurian dengan Pemberatan (Pasal 363 KUHP): Pencurian biasa yang disertai keadaan pemberatan, seperti dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan senjata, atau bersama-sama. 

Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHP): Pencurian yang disertai kekerasan atau ancaman kekerasan. 

Perampokan (Pasal 365 KUHP): Pencurian dengan kekerasan yang dilakukan dengan maksud untuk memperolehkekayaan orang lain. 

Perbedaan antara Pencurian dan Penggelapan:

Cara Memperoleh Barang:

Pencurian melibatkan pengambilan barang yang belum berada dalam penguasaan pelaku, sementara penggelapan melibatkan disalahgunakannya barang yang sudah berada dalam penguasaan pelaku secara sah.

Niat Memiliki:

Niat untuk memiliki barang secara melawan hukum dalam pencurian sudah ada sebelum pengambilan barang, sedangkan dalam penggelapan niat tersebut muncul setelah barang berada dalam penguasaan pelaku.

Hubungan dengan Korban:

Pencurian biasanya tidak melibatkan hubungan kepercayaan antara pelaku dan korban, sedangkan penggelapan seringkali melibatkan hubungan kepercayaan. 

Kesimpulan:

Secara umum, "pencuri" dan "maling" dapat digunakan secara bergantian dalam konteks hukum. Namun, "pencuri" lebih formal dan "maling" lebih kasual. Perbedaan yang lebih penting dalam konteks hukum terletak pada jenis pencurian (biasa, dengan pemberatan, dengan kekerasan) dan perbedaannya dengan penggelapan. 

Pencuri dan maling adalah kata-kata yang sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan seseorang yang melakukan pencurian. Namun, secara umum, "maling" lebih sering digunakan dalam konteks informal dan merujuk pada pencuri yang bekerja secara terorganisir dan mungkin menggunakan strategi tertentu untuk menghindari perhatian, seperti menyamar atau menggunakan ilmu sirep. "Pencuri" lebih merupakan istilah umum dan netral untuk seseorang yang melakukan pencurian. 

Perbedaan Lebih Detail:

·         Konteks:

"Maling" lebih umum digunakan dalam percakapan sehari-hari, sedangkan "pencuri" lebih sering digunakan dalam konteks formal seperti dalam teks hukum atau berita.

Stigma:

·      "Maling" mungkin memiliki sedikit konotasi negatif karena sering dikaitkan dengan pencuri yang bekerja secara terorganisir dan mungkin menggunakan trik untuk mengelabui korbannya, kata SINDOnews.com.

Penggunaan:

·      "Maling" bisa juga digunakan untuk merujuk pada seseorang yang melakukan pencurian dengan cara tertentu, seperti "maling copet" (pencopet) atau "maling rumah" (pencuri yang mencuri di rumah), "Pencuri" lebih umum dan tidak spesifi.

 


 

 

 

Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Hukum perdata mengatur hubungan hukum antar individu (privat), fokus pada kepentingan pribadi dan sengketa antar individu. Hukum pidana mengatur pelanggaran terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman (publik), melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat. Perbedaannya terletak pada objek, sanksi, dan tujuan masing-masing cabang hukum ini.

Hukum Perdata:

Pengertian: Hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat.

Tujuan: Melindungi kepentingan pribadi atau perseorangan.

Ruang Lingkup: Hubungan hukum antara individu (perjanjian, warisan, keluarga, dll).

Sanksi: Ganti rugi, pemenuhan kewajiban, atau sanksi lainnya yang sesuai dengan tuntutan penggugat.

Contoh: Sengketa utang piutang, sengketa lahan, wanprestasi, pencemaran nama baik.

Hukum Pidana:

Pengertian: Hukum yang mengatur tindak pidana (kejahatan) dan ancaman hukuman bagi pelakunya.

Tujuan: Melindungi kepentingan umum dan menjaga ketertiban masyarakat.

Ruang Lingkup: Tindakan yang dilarang oleh negara dan merugikan kepentingan umum (pembunuhan, pencurian, korupsi, dll).

Sanksi: Hukuman penjara, denda, atau hukuman lainnya yang diatur dalam undang-undang.

Contoh: Pembunuhan, pencurian, penipuan, korupsi, pemerasan.

Perbedaan Utama:

1.      Objek:

Hukum perdata mengatur hubungan antar individu, sedangkan

hukum pidana mengatur pelanggaran terhadap kepentingan umum.

2.      Tujuan:

Hukum perdata melindungi kepentingan pribadi, sedangkan

hukum pidana melindungi kepentingan umum.

3.      Sanksi:

Sanksi perdata berupa ganti rugi atau pemenuhan kewajiban, sedangkan

sanksi pidana berupa hukuman.

4.      Inisiatif:

Dalam perkara perdata, inisiatif berasal dari pihak yang dirugikan, sedangkan

dalam perkara pidana, inisiatif berasal dari negara (Jaksa Penuntut Umum).

5.      Perdamaian:

Perdamaian diperbolehkan dalam perkara perdata, tetapi

tidak diperbolehkan dalam perkara pidana.

 Contoh Kasus:

 Hukum Perdata: Sengketa utang piutang antara dua orang.

Hukum Pidana: Kasus pembunuha

 


 

Pengaduan Dan Pelaporan Polisi

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.

Jika laporan polisi tidak ditindaklanjuti atau ditunda lebih dari 5 bulan, pelapor dapat mempertanyakan proses penyidikan dengan mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri. Pelapor juga bisa meminta SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) untuk mengetahui perkembangan kasus. Jika kepolisian tidak menindaklanjuti laporan atau terdapat ketidakpuasan atas hasil penyidikan, pelapor dapat mengajukan pengaduan kepada Propam Polri.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan:

1.      Tindak Lanjut Rutin:

Lakukan kunjungan atau komunikasi rutin ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan laporan.

2.      SP2HP:

Mintalah SP2HP kepada kepolisian untuk mengetahui perkembangan hasil penyidikan.

3.      Permohonan Praperadilan:

Jika laporan tidak ditindaklanjuti atau ditolak, ajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri.

4.      Pengaduan ke Propam:

Jika ada dugaan penyidik tidak menjalankan tugasnya dengan benar, ajukan pengaduan ke Propam Polri.

5.      Konsultasi Hukum:

Jika diperlukan, konsultasikan kasus dengan seorang pengacara untuk mendapatkan panduan hukum yang lebih spesifik.

Penting untuk diingat:

Masa Laporan:

Laporan polisi tidak memiliki masa kadaluarsa, namun untuk delik aduan, pelapor memiliki waktu tiga bulan sejak laporan dibuat untuk mencabutnya.

Pencabutan Laporan:

Pencabutan laporan yang sah dapat menghentikan proses hukum.

Sanksi terhadap Polisi:

Jika polisi mengabaikan laporan, penyidik dapat dikenakan sanksi etika dan/atau administratif, kata Perqara.

Pengajuan Praperadilan:

Praperadilan dapat dilakukan jika pelapor merasa tidak puas dengan proses penyidikan atau penghentian penyidikan oleh kepolisian

Apabila Anda tidak juga memperoleh informasi terkait proses penyidikan terhadap laporan polisi yang telah dibuat, maka Anda sebagai pelapor dapat meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (“SP2HP”).

Dasar hukum terkait perolehan SP2HP antara lain diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan (“Perkap 21/2011”), yang menyebutkan bahwa penyampaian informasi penyidikan yang dilakukan melalui surat, diberikan dalam bentuk SP2HP kepada pelapor/pengadu atau keluarga.

Bahkan mengacu pada Pasal 10 ayat (5) Perkap 6/2019, setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana harus diterbitkan SP2HP.

Pasal 11 ayat (2) Perkap 21/2011 kemudian menyebutkan bahwa dalam SP2HP sekurang-kurangnya memuat pokok perkara, tindakan yang telah dilaksanakan penyidik dan hasilnya, dan permasalahan/kendala yang dihadapi dalam penyidikan.

Dalam laman Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) milik Polri, dijelaskan bahwa SP2HP pertama kali diberikan pada saat setelah mengeluarkan surat perintah penyidikan dalam waktu tiga hari laporan polisi dibuat. Lebih lanjut, waktu pemberian SP2HP pada tingkat penyidikan untuk masing-masing kategori kasus adalah:

 

1.      Kasus ringan, SP2HP diberikan pada hari ke-10, hari ke-20, dan hari ke-30

2.      Kasus sedang, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, dan hari ke-60.

3.      Kasus sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75, dan hari ke 90.

4.      Kasus sangat sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-20, hari ke-40, hari ke-60, hari ke-80, hari ke-100, dan hari ke-120.

Pihak Badan Reserse Kriminal Polri juga memberikan kemudahan dan transparansi bagi masyarakat melalui laman Layanan SP2HP Online. Melalui situs ini, pihak pelapor/pengadu dapat mengetahui dan mengakses SP2HP secara online dengan memasukan data berupa:

Nomor LP;

Nama lengkap pelapor;

Tanggal lahir pelapor.

Oleh karena itu untuk mengetahui perkembangan proses penyidikan yang sedang berlangsung, pihak pelapor dapat mengajukan permohonan untuk dapat diberikan SP2HP kepada pihak kepolisian terkait atau mengaksesnya secara online.

Apabila laporan polisi yang telah Anda buat ternyata telah dihentikan penyidikannya dan Anda merasa keberatan, Anda dapat mengajukan permohonan praperadilan kepada ketua pengadilan negeri setempat.

Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 80 KUHAP yang selengkapnya berbunyi:

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dimaksud termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi kemasyarakatan (hal. 36).

Sebelum terdapat penghentian penyidikan yang diinformasikan oleh penyidik kepada Anda sebagai pelapor melalui SP2HP, maka selama itu Anda tidak dapat mengajukan permohonan praperadilan. Dengan kata lain, permohonan praperadilan dapat Anda ajukan ketika proses penyidikan telah benar-benar dihentikan sebagaimana telah kami jelaskan.

Pengaduan dan pelaporan polisi adalah dua hal yang berbeda dalam konteks hukum pidana. Pelaporan dapat dilakukan oleh siapa saja untuk menyampaikan informasi tentang tindak pidana yang terjadi atau diduga terjadi, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindak pidana tertentu, dan hanya untuk jenis tindak pidana tertentu yang disebut "tindak pidana aduan". 

Pelaporan:

Pelaporan merupakan pemberitahuan yang disampaikan kepada pihak berwenang (polisi) tentang adanya tindak pidana yang terjadi, sedang terjadi, atau diduga akan terjadi. 

Setiap orang dapat melaporkan tindak pidana. 

Tujuan pelaporan adalah untuk memberikan informasi sehingga dapat dilakukan penyelidikan lebih lanjut. 

Contoh pelaporan: Pelaporan tindak pidana pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan lain-lain. 

Pengaduan:

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan kepada pihak berwenang (polisi) untuk menindak pelaku tindak pidana yang merugikan pihak yang mengajukan aduan. 

Pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang dirugikan atau memiliki hak untuk mengajukan aduan. 

Pengaduan hanya terbatas pada jenis tindak pidana tertentu yang disebut "tindak pidana aduan". 

Contoh tindak pidana aduan: Penganiayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga, perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, dan lain-lain. 

Tujuan pengaduan adalah untuk memulai proses peradilan dan menuntut hukuman bagi pelaku tindak pidana. 

Pengaduan dapat dicabut dalam waktu paling lambat 3 bulan setelah pengaduan diajukan. 


Contoh:

·         Pelaporan:

Jika seseorang melihat seorang pencuri sedang mencuri, orang tersebut dapat melaporkan kejadian tersebut ke polisi.

·         Pengaduan:

Jika seseorang dirugikan oleh penganiayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga, orang tersebut dapat mengajukan aduan ke polisi.

 

Kesimpulan:

Pelaporan adalah pemberitahuan umum tentang tindak pidana, sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan untuk menindak pelaku tindak pidana tertentu yang merugikan pihak pengadu. 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan;

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012. 

Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kemasyarakatan, dilarang:

  Dalam memutuskan tidak dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan, penyidik yang bersangkutan harus memiliki alasan ...